Minggu, 15 Mei 2011

Batas Antara Minder dan Sombong

Aku mengakuinya, kalau aku mungkin memiliki penyakit minder yang kronis. Sewaktu-waktu perasaan rendah diri bisa datang, ketika ada teman dekatku yang meraih prestasi, atau ketika wanita yang aku sukai ternyata menyukai seorang pria lain yang kompeten. ‘Penyakit’ ini selama bertahun-tahun membuatku tidak pernah berani mendekati wanita, karena aku sudah memiliki keyakinan akan ditolak. Mana ada perempuan yang mau punya suami yang lemah dan tidak dewasa seperti aku, yang bahkan tidak memiliki sesuatu pun yang bisa dibanggakan? Berapa tahun belakangan, aku langsung memutuskan mundur, sebelum mencoba mendekati perempuan yang aku sukai. Bahkan aku jadi tidak pernah bisa mendekati seorang perempuan pun-hingga akibatnya, aku kehilangan seorang wanita yang paling aku cintai. Tepatkah pemikiran seperti itu?
Setiap kali aku minder kepada seorang wanita, aku selalu langsung berpikir untuk tidak menyukainya. Tapi kemudian kadang aku balik bertanya kepada diriku sendiri, “Bagaimana kalau ada seorang wanita yang tidak menarik dan tidak shalehah yang ternyata menyukaimu, apakah kamu mau?” Jawabanku : “Tidak!” Lho? Bukankah aku ini minder? Bukankah aku takut tidak ada wanita yang menyukaiku? Lha terus, kenapa aku menolak wanita yang bagiku tidak memenuhi kriteria? Ya, kriteria. Kalau aku memang minder, kenapa aku masih menetapkan suatu kriteria bagi seorang calon istri? Tidakkah itu sebuah paradoks?
Hal ini menjadikan pertanyaan besar : Apakah aku masih pantas menyebut diriku ini minder ? Bahkan para artis pujaan banyak pria seperti Luna Maya, Revalina S.Temat, hingga Nikita Willy pun kalau seandainya mereka mau padaku –walaupun cuma mimpi sepertinya- , mereka akan aku tolak! Kenapa? Karena mereka tidak memenuhi kriteria utamaku. Jadi, bukankah aku ini sebenarnya malah sombong? Jadi, sebenarnya aku ini minder atau sombong?
Oke, ada analogi seperti ini : Ada seorang lelaki lulusan SMP, yang dia selalu menyombongkan diri dan pamer di hadapan orang-orang lulusan SD atau yang putus sekolah. Tapi, ketika dia bertemu lulusan SMA, apalagi sarjana, maka dia jadi sangat pemalu bahkan untuk berbicara. Hmm...mungkin kondisiku mirip seperti orang itu. Itulah manusia. Dan aku juga masih tergolong manusia (semoga). Batas antara minder dan sombong pada diri manusia itu sangat tipis. Itu karena kita selalu membandingkan diri antara satu dengan yang lain dengan parameter tertentu. Kalau dengan yang lebih tinggi, kita cenderung minder dan rendah diri. Dengan yang lebih rendah, kita cenderung sombong dan takabur.
Tak heran jika Allah lebih Menyukai kita bersikap proporsional. Kita mungking sudah terlalu sering mendengar ceramah ini : Dalam hal duniawi, lebih baik melihat ke bawah agar kita bersyukur; sebaliknya dalam hal akhirat, lebih baik melihat ke atas agar termotivasi untuk memperbaiki diri. Sudah sering, tapi kita jarang atau bahkan lupa mengamalakannya. Semua sumbernya adalah self evaluation (evaluasi diri) yang tepat. Kesalahan self evaluation terjadi apabila kita menjadikan orang lain sebagai patokan bagi self esteem (harga diri) kita, bukan sebagai patokan untuk bersyukur atau memperbaiki diri. Masalah jodoh? Nanti akan saya bahas lebih jauh dalam tulisan ‘Cinta Tak Mengenal Kompetensi’ (tapi di blog saya yg satunya ya..hehe).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar